SELAMA tiga dekade hingga masuknya Jepang ke Bali, ternyata Belanda lah yang turut berperan menciptakan pencitraan Bali yang masih langgeng kita kenal hingga hari ini tertib, damai, artistik, dan mencintai kebudayaan. Fakta di buku bertajuk Prosa Gerilya Mengurai Kisah Ngurai Rai tersebut menjadi wawasan baru tentang 'tangan' Belanda yang turut campur membentuk wajah Bali. Citra Bali yang lekat saat ini memang daerah dengan panorama indah berbalut keramahan penduduk yang bernaluri seni tinggi, memiliki adat unik, dan pemeluk Hindu yang taat. Hal itu menjadi daya pikat bagi banyak orang untuk bertandang, bahkan hingga berulang, ke wilayah yang dikenal dengan sebutan pulau dewata tersebut. Tidak mengherankan jika Bali acap diperhitungkan dalam daftar 10 destinasi paling populer dunia versi media berpengaruh, seperti Lonely Planet, Travel+Leisure, hingga Forbes. Sang penulis, Andre Syahreza, ingin memperlihatkan Bali dari sisi yang berbeda. Lewat Prosa Gerilya, ia membawa pembaca lebih dulu pergi ke masa lalu yang kemudian dikorelasikan dengan masa kini. Andre menggambarkan sisi lain Bali melalui perjalanan hidup I Gusti Ngurah Rai, pahlawan nasional yang namanya diabadikan menjadi nama bandara internasional Bali sejak 1969. Buku yang terdiri dari lima bab itu mengurai kisah hidup Ngurah Rai dari sejak kecil hingga menuntaskan perjuangaannya untuk Indonesia pada 1946. Sepanjang menelusuri jejak Ngurah Rai, Andre juga ikut mengupas nuansa Bali di waktu silam. Dimulai dari persinggahannya di Ubud yang lekat dengan suasana tenang, penuh rimbun pepohonan, dan jauh dari ingar bingar, dilanjut dengan menepi ke Desa Carangsari, tempat kelahiran Ngurah Rai, sekitar 10 km dari Ubud. Desa yang dewasa ini, seperti banyak tempat lain di Bali, sudah banyak dihiasi kafe-kafe nan instagramable. Belanda dan Balinisasi Di bab pertama, ada suguhan menarik lain tentang cikal-bakal Bali menjadi destinasi wisata terpopuler yang lagi-lagi disebut ada campur tangan Belanda. Pada halaman 62, misalnya, dikisahkan jika di akhir 1920-an, yang merupakan masa kecil Ngurah Rai, pemerintah Belanda menerapkan Baliseering yang kerap diartikan sebagai Balinisasi. Hal itu disebut menjadi upaya Belanda membentuk orang Bali dalam citra seperti yang ingin dilihat dunia Barat. Baliseering mewajibkan orang Bali untuk menggunakan pakaian tradisional, berbicara dalam bahasa Bali, hingga membangun rumah dengan arsitektur Bali. Jika tidak mengikuti aturan, bisa dikenakan konsekuensi hukum di pengadilan yang diawasi Belanda. Pada kurun waktu tersebut, rombongan wisatawan asing memang sudah mulai berdatangan dalam jumlah kecil, termasuk di antaranya antropolog Barat Margaret Mead dan Gregory Bateson yang sempat menetap di Bali. Pencitraan tersebut kemudian pun terus berlangsung meskipun Belanda sudah kalah di tangan Jepang pada 1942, waktu ketika Ngurah Rai sedang menyelesaikan akademi militer di Jawa Tengah. MI/Duta Memahami Ngurah Rai secara utuh Dalam buku itu, Andre menyajikan fakta sejarah yang mungkin baru bagi sebagian kalangan terkait dengan perjalanan hidup Ngurah Rai hingga akhirnya mampu memetakan taktik perang melawan Belanda dan berjuang dalam Perang Puputan Margarana. Jauh sebelum dilantik menjadi Komandan Resimen TRI Sunda Kecil yang wilayah kekuasaannya mencakup Bali hingga Nusa Tenggara dengan pangkat letnan kolonel, Ngurah Rai muda yang dikenal sebagai pendekar silat bergabung dengan Korps Prajoda, korps tentara kerja sama Belanda KNIL dengan kaum bangsawan Bali. Pengungkapan fakta itu, menurut penulis, bukan lantaran ingin mengubah persepsi tentang seorang pahlawan yang pernah ikut dalam barisan tentara Belanda. Ia ingin mencoba memahami sosok Ngurah Rai secara utuh sebagai seorang manusia, sebagai orang Bali, lebih dari sekadar pahlawan. Karena bagi penulis, kepahlawanan yang nasionalistis hanya mampu memotret satu aspek dari seorang tokoh dan menghilangkan aspek-aspek lain yang sejatinya justru membantu kita melihat tokoh bersangkutan sebagai seorang manusia biasa sebagaimana kebanyakan dari kita. Membaca sejarah dengan bahasa kekinian Buku setebal 204 halaman itu mengulas historis Bali yang bukan sekadar tempat pelesiran dengan kafe-kafe atau beach club kiwari. Meski bukan topik yang terbilang ringan, membacanya terasa mengasyikkan sebab sajian wajah Bali di masa kolonial yang berkelindan dengan figur I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh utama dibahasakan dengan begitu ringan. Beberapa kali penulis menyematkan kalimat-kalimat kekinian yang kerap terdengar di kalangan generasi Z. Cerita awal mula hingga akhir peperangan mengusir penjajah yang dikomandoi I Gusti Ngurah Rai banyak menyuratkan pesan-pesan inspiratif. Cerita tersebut bukan karangan atau sekadar pembacaan literasi dari sang penulis, melainkan hasil wawancara dari para saksi sejarah dan beberapa orang yang dekat dengan Ngurah Rai, baik di dalam maupun luar negeri. Umpama, sebagai pemimpin perang, nyatanya Ngurah Rai digambarkan Wayan Semadi atau Pan Pugeh yang ialah saksi sejarah, sebagai pribadi yang halus dengan sifat damai. Mungkin hal itulah yang membuat ribuan rakyat Bali bersedia berjuang bersama Ngurah Rai, seperti halnya Pan Pugeh yang rela mati demi sang pemimpin. Penulis juga menyertakan cuplikan surat sakti’ Ngurah Rai yang kemudian dibahasakan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati yang karib disapa Cok Ace. Dalam surat balasan Ngurah Rai atas ajakan berunding dari dua perwira Belanda, Termeulen dan Konig, yang pernah dibantunya menyeberang dari Bali ke Jawa ketika Jepang datang, ia berkukuh bahwa Bali bukan tempat untuk berkompromi. Jika ingin kompromi, ia mempersilakan berunding dengan pemerintah pusat. Hal itu lantas dimaknai sebagai sebuah kesadaran besar di masa itu jika Bali ialah bagian dari sesuatu yang lebih besar, yakni Indonesia. Di luar peta wisata Andre Syahreza, penulis kelahiran Jakarta itu, mengaku butuh waktu satu tahun dan melakukan tiga kali kunjungan ke Bali untuk mendapatkan data-data yang kemudian dikisahkan dengan tutur bahasa populer. Kecintaannya pada Bali, yang barangkali terpantik ketika dirinya menghabiskan masa remaja di Singaraja –Ibu Kota Sunda Kecil pada era Kolonial—kemudian berkuliah di Universitas Udayana dan merintis karier jurnalistik di Bali Post, membuat apa saja yang berkaitan dengan pulau dewata selalu menarik di matanya. "Tantangan terbesar setelah 13 tahun hiatus menulis buku itu bagaimana menuliskan kisah bersejarah agar menarik dibaca di masa sekarang. Buku ini saya tulis dengan membayangkan pembaca dari generasi milenial dan zilenial, dan duduk manis setiap hari selama 4-8 jam untuk menulis itu enggak gampang ternyata," kata Andre melalui surat elektronik, Jumat 9/6. Dari riset untuk buku keempatnya itu, Andre mengaku banyak menemukan hal menarik di luar persona Ngurah Rai yang ingin dibaginya juga kepada para pembaca. Salah satunya ialah pengalaman mengunjungi tempat-tempat yang tidak ada dalam peta wisata mainstream, seperti Desa Air Kuning di Kabupaten Jembrana, juga Desa Tanah Aron di Karangasem. Desa-desa tersebut merupakan rangkaian dari jejak perjuangan Ngurah Rai. "Ada sebuah desa di Bali bagian barat yang penduduknya ialah orang-orang Bali beragama Islam. Desa itu terasa seperti Banyuwangi kecil di Bali. Selain itu, saya bertemu saksi-saksi sejarah yang berusia di atas 90 tahun. Mereka pernah bertemu Ngurah Rai, atau ada dalam peristiwa pertempuran pada masa itu. Sepanjang penelusuran, saya bisa melihat sisi lain Bali yang jarang terlihat di brosur pariwisata," tuturnya. Menyimak buku ini, barangkali pembaca akan merasa seperti menyantap hidangan semacam nasi campur. Kadang terasa seperti membaca buku sejarah atau biografi, kadang juga seperti buku travelling. Kendati demikian, Prosa Gerilya Mengurai Kisah Ngurai Rai bisa dibilang nasi campur yang nikmat dan patut dibaca untuk memperluas cakrawala akan Bali dan sang pahlawan I Gusti Ngurah Rai. M-2
Meskidemikian, belum dijelaskan kapan sang pelatih akan bertolak ke Indonesia. "Kami ingin informasi yang akurat tentang jadwal dan persiapan TC Timnas U-19. Jadwal saya dan tim pelatih dari Korea Selatan ke Indonesia, lalu periode isolasi, tempat isolasi, dan jadwal selama periode isolasi," kata Shin Tae-yong dalam keterangan resmi yang JAKARTA, - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB Letjen TNI Suharyanto bertolak ke Provinsi Riau, pada Rabu 7/6/2023 pagi. Kepergiannya ke sana untuk memimpin rapat koordinasi penanganan kebakaran hutan karhutla bersama seluruh unsur Forkopimda se-Provinsi Riau. Ia dijadwalkan akan meninjau titik lokasi karhutla secara langsung melalui juga BMKG Sebut 28 Persen Wilayah Indonesia Masuk Siaga Karhutla dan KekeringanSuharyanto mengatakan, peninjauan diperlukan lantaran Indonesia akan memasuki musim kemarau yang lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya karena pengaruh dari El Nino. “BNPB akan fokus ke kebakaran hutan dan lahan. Karena prediksi BMKG pada 2023 ini kemaraunya lebih kering," kata Suharyanto dalam siaran pers, Rabu 7/6/2023. Dia menyampaikan, pihaknya akan lebih fokus dalam upaya pencegahan hingga penanganan darurat bencana hidrometeorologi kering, mulai dari antisipasi kebakaran hutan dan lahan hingga kekeringan akibat faktor cuaca. Sebab, berdasarkan proyeksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG, potensi kejadian karhutla akan lebih besar dari tiga tahun terakhir. Adapun menurut data sementara per 1 Juni 2023, sudah ada 112 kejadian karhutla di juga Titik Api Mulai Bermunculan, Pemprov Kalsel Tetapkan Status Siaga Darurat Karhutla Sementara itu, tujuh wilayah akan mendapat perhatian khusus dari BNPB, meliputi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Hingga saat ini, status siaga darurat bencana karhutla dan kekeringan telah ditetapkan di seluruh provinsi tersebut per 29 Mei 2023. "Diprediksi potensi kejadian karhutlanya lebih besar dari tiga tahun terakhir,” tuturnya. Suharyanto menilai, ketujuh provinsi prioritas itu memang menjadi langganan bencana karhutla setiap tahun. Baca juga Ditangkap, Pelaku Karhutla di Dumai Terancam Hukuman 10 Tahun Penjara Oleh sebab itu, mantan Pangdam V Brawijaya itu akan turun langsung ke lapangan untuk memastikan penanganan karhutla berjalan dengan baik sehingga dampak terburuk dapat diminimalisir. Sebelumnya, BNPB juga telah mendukung operasi penanganan karhutla di Bumi Lancang Kuning dengan menyiagakan helikopter untuk patroli hingga water sisi lain, BNPB bersama BRIN, BMKG, dan TNI juga mengupayakan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca TMC sebagai langkah antisipasi untuk mengurangi potensi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.LUKAS5:4 "Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Setiap hari kita hidup dalam sebuah rutinitas yang kadang terasa monoton atau begitu-begitu saja. Bahaya dari rutinitas hidup sehari-hari ialah bahwa ia seringkali membuat kita tidak lagi memaknainya. Tampaknya itu jugalah yang terjadi dengan
expand_more malay Malay swap_horiz english English search Translate cancel Translatearrow_forward Please choose different source and target languages. MarilahBersama ke Tempat Yang Lebih Dalam di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Beli Marilah Bersama ke Tempat Yang Lebih Dalam di Toko Buku Alghifari. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Saudara/saudariku terkasih, Tiga bacaan hari ini menampilkan tiga tokoh yang, kalau kita mau selamat akhirat dan bahagia di dunia mulai besok pagi, wajib kita teladani Nabi Yesaya, Rasul Paulus, dan Simon Petrus dkk. Mereka merendahkan diri mereka di hadapan Tuhan, mengosongkan batinnya, dan siap mengikuti Yesus. Kata Yesus kepada Simon Petrus, duc in altum, bertolaklah ke tempat yang lebih dalam. Apa reaksi Simon Petrus? Ini alur perubahannya. Pertama, ketika awalnya dia melihat Yesus menaiki perahunya, dia tersungkur melihat Yesus dalam perasaan kerendahan dan kehinaannya. Bagaimana dengan kita? Tentu kita kita tidak sebaik Simon Petrus. Masih baik dia menyadari Tuhan menaiki perahunya. Kita sering terlalu asyik dengan kesenangan duniawi kita sehingga alih-alih merendah dan tersungkur, sadar akan kehadiran-Nya saja tidak. Kita tahu jam kerja dimulai pukul tetapi lebih sering kita baru buka komputer jam Kita yakin virus sudah menyebar luas hari ini 36 ribuan, dan kita warga atau pimpinan unit atau anggota gugus tugas, tapi “sengaja lupa” menjaga jarak. Lupa yang sengaja, lupanya zaman now. Kita tahu hari ini seragam apa, tetapi kita pura-pura mati lampu sehingga salah mengeluarkan baju dari lemari, termasuk saya. Kita paham harus berbahasa Inggris karena itu penting agar sekolah ini diminati, tetapi kita malas untuk itu dan tidak merasa bersalah. Kita sering gagal melihat kebaikan-kebaikan sehari-hari sebagai bentuk nyata kehadiran Tuhan. Kita paham harus mengajar secara benar, tetapi RPP saja kita bikin ala kadarnya, padahal kita masih mampu membuatnya lebih baik, ada waktu, ada sumber daya, dan kita tidak merasa bersalah. Boro-boro kita menyadari kelemahan diri, anak yang tidak bisa mengerjakan soal di papan tulis saja kita beri omelan seolah dia serba salah tanpa berpikir sedikitpun bahwa dia seperti itu karena cara kita membimbing dan mengajar masih banyak kekurangannya. Boro-boro tersungkur merendah di hadapan Tuhan, Kitab Suci di rak, simbol suci serta gambar orang kudus, serta foto orang tua yang ada di dinding kos-kosan anak muda saja sering serasa diajak menonton pasangan muda itu berpacaran entah seperti apa tanpa berpikir hari esok. Rupanya tulang kita zaman now sudah tidak ada sendinya untuk membungkuk apalagi tersungkur di hadapan kebesaran Tuhan. Kedua, Simon Petrus mempertanyakan perintah Yesus. Dia memang tersungkur merendah, namun pada saat yang sama arogansi kemanusiaannya mengemuka sehingga hatinya campur-aduk antara merendah atau membantah Yesus dengan sempat-sempatnya protes dan mempersoalkan bahwa mana mungkin di siang bolong mereka bisa mendapatkan ikan, sedangkan semalam-malaman mereka kerja keras, tidak mendapatkan apa-apa. Akan tetapi, rasa rendah dirinya di hadapan Tuhan, iman kepasrahannya kepada Tuhan jauh lebih kuat dibandingkan rasionalitas kemanusiaannya. Rasionalitas kalah. Iman menang. Dia bertolak ke kedalaman. Lalu bagaimana dengan kita? Rasionalitas salah sering menguasai kita. Iman justru kalah. Misalnya, mindset ini “Saya hanya seorang perantau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara.” Rasa sebagai perantau, tamu di tanah orang, terbawa-bawa terus. Kita menjadi orang asing di RT/RW, tidak merasa sebagai warga penuh yang ikut menjaga kehidupan yang baik. Mengumpulkan surat domisili, misalnya, menjadi beban bagi kita karena harus mencari Ketua RT, RW, Kepala Desa, dst. Rasa keterasingan itu terbawa sampai ke Lingkungan, Wilayah, OMK dan kelompok kategorial, serta di tingkat Paroki. Di gereja ada yang mungkin merasa sebagai tamu tulen. Alih-alih kita membawa pembaharuan dalam kehidupan paroki, ketika beribadat saja kita lebih asing dari tamu, yakni hanya penonton, sehingga kita tidak menjawab dialog misa, tidak menyanyi, tidak pernah menjadi petugas liturgi dst. selain yang digerakkan atas nama Sekolah. Dengan itu, kita merasa belum waktunya menjalankan tugas perutusan sebagai murid Yesus. Apalagi kalau usia masih muda. Apalagi kalau belum married. Lalu kapan dan di mana kita akan bisa menjadi tuan bagi hidup dan lingkungan sosial kita untuk menempatkan diri dalam tugas perutusan? Kalaupun suatu ketika kita pensiun atau pindah dari sini, hidup kita saat itu di tempat itu tergantung pada hidup kita saat ini di tempat ini. Sesungguhnya yang kita jalani di tempat kerja atau di RT/RW atau di Paroki bukan persiapan hidup, melainkan hidup itu sendiri, karena usia kita tidak di-freeze, melainkan jalan terus. Marilah kita membuka diri kita dan hati kita akan kehadiran Tuhan lewat orang-orang di sekitar kita, apapun agamanya, sukunya, profesinya, dst. Kita hidup dengan saudara-saudara kita itu; yang di kampung hanya akar rumput yang lama-lama juga akan asing dengan kita. Yesus ada di sini, saat ini, tidak menunggu nanti. Mari kita buka hati dan melaksanakan tugas perutusan kita sekarang dan di sini. Tugas perutusan itu tidak harus dalam arti pergi ke benua lain sebagai misionaris untuk hidup dan mewartakan kabar sukacita secara selibat. Tugas perutusan adalah menjalani hidup dengan benar untuk diri sendiri dan bersama orang-orang di kiri, kanan, depan, dan belakang kita. Itu yang paling mudah. Ketiga, Simon Petrus akhirnya bertolak bergeser ke tempat yang lebih dalam dan menebar jala di siang bolong. Istilah siang bolong menggambarkan ironi keanehan dari sisi rasionalitas manusia. Kita juga sering menyebut kesadaran atau tindakan yang terlambat dan kelihatan akan sia-sia sebagai mimpi di siang bolong. Ternyata mindset itu harus diubah. Tidak ada kata terlambat, tidak ada kata telanjur basah. Yang namanya pembaharuan diri itu tidak kenal waktu. Begitu disadari, langsung berubah. Percayalah, kalau kita berubah, ikan yang kita jala akan berlimpah. Jangan berlama-lama membuang waktu dengan rasionalitas ego kita. Kalau selama ini kita enggan membaca Kitab Suci dan membuat renungan hanya karena kewajiban, itu pasti kurang membawa manfaat bagi perbaikan diri kita. Sudah nyata-nyata buang waktu, tapi karena kita kurang melandasi tindakan kita dengan kesungguhan dan kesadaran yang benar, maka hasilnya bagi peningkatan khazanah spiritual kita sangat minim. Itulah yang digambarkan dengan kenyataan Simon Petrus yang sibuk semalam-malaman tanpa hasil, karena tidak dengan fondasi keyakinan akan kuasa Tuhan. Beberapa contoh lain hidup kita yang hanya buang-buang waktu bagai menebar jala di tempat yang dangkal antara lain misalnya 1 Mengerjakan sesuatu asal jadi, yang penting ada yang bisa ditunjukkan ke atasan. Kita pasti tidak bertumbuh dalam cara kerja itu. 2 menerima tugas mengajar tetapi gagal menyenangi dunia anak-anak. Yang seperti ini hanya akan buang-buang waktu dan sekedar mendapatkan gaji bulanan, yang bukan apa-apa di mata Tuhan, dan bukan apa-apa untuk kekayaan kualitas hidup spiritual. 3 jatuh cinta dan menjalani hidup sebagai pacar satu terhadap yang lain tetapi tidak kunjung ada titik terang ke mana hubungan mau dibawa selain untuk mengisi rasa kesepian. Masih banyak contoh lainnya. Kesemuanya itu membutuhkan tindakan banting setir kita, ngeden mengeluarkan tenaga terbesar kita untuk bangkit dan melawan kenyamanan semu itu, menata kembali semuanya, dan memindahkan perahu kita ke tempat yang lebih dalam, melakukan segala sesuatu secara lebih berisi dan memandang ke depan. Mari berhenti berputar-putar tanpa juntrungan di air yang cetek, berhenti bekerja atau bertindak hanya demi hal dangkal di permukaan misalnya sekedar memenuhi kewajiban, bagi yang muda berhenti menghabiskan hari ini tabungan bahagia hari depan supaya pada waktunya nanti bahagia itu masih ada. Mari kita hidup secara lebih berisi. Itulah makna duc in altum. Ternyata, untuk maju dalam hidup itu dibutuhkan program kerja pribadi. Program kerja adalah uraian dari tujuan. Tujuan adalah uraian dari misi pribadi. Misi pribadi adalah uraian dari visi. Kalau itu semua kita sempatkan untuk disusun dengan permenungan yang mendalam, dan menggetarkan jiwa kita untuk mendapatkan apa yang kita impikan, maka program kerja pribadi itu akan menjadi hidangan yang lengkap di meja perjamuan. Akan tetapi … sebuah hidangan tidak bisa tiba-tiba ada di meja hidangan. Hidangan di meja makan itu adalah wujud kepiawaian manajerial kita. Dibutuhkan kompetensi spiritual untuk mengerjakan hal-hal manajerial itu. Kompetensi spiritual ibarat segala yang kita lakukan di dapur sampai hidangan dikemas dan diantar ke meja perjamuan. Kompetensi spiritual itu kita dapatkan hari ini. Yesaya MAU diutus. Paulus MAU diutus. Murid-murid Yesus MAU diutus. MAU adalah singkatan dari M Merendahkan diri di hadapan Tuhan, memasrahkan segalanya kepada Tuhan, percaya, tanggalkan kesombongan ego, berani telanjang sejujur-jujurnya di hadapan Tuhan. A Ada keterbukaan hati agar Tuhan masuk ke dalam diri kita. Kalau berdoa, jangan cepat-cepat ingin berbicara dan mendikte Tuhan, tetapi dengarkan dulu suara Tuhan. Kalau bertindak, ingat Tuhan, ingat sesama, ingat orang tua kita, ingat orientasi masa depan kita, ingat anak/istri/suami, dst. U Usaha meninggalkan kenyamanan semu, tanpa syarat. Kalau ragu, kembali ke M dan A. Semoga bermanfaat.